Ironi Timah Indonesia: Dilema BUMN, Pasokan, dan Nasib Tambang Rakyat

Indonesia, salah satu produsen dan eksportir timah terbesar di dunia, menyimpan sebuah ironi besar dalam tata kelola komoditas strategis ini. Di satu sisi, negara menguasai rantai nilai utama melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang memegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) terluas dan memiliki fasilitas peleburan besar. Di sisi lain, BUMN dan industri hilir seringkali berhadapan dengan masalah kekurangan bijih timah, padahal realita di lapangan menunjukkan bahwa potensi pasokan terbesar bahan baku timah justru berasal dari aktivitas Tambang Rakyat (yang sering dikategorikan sebagai Penambangan Tanpa Izin/PETI).

Inilah inti dari ironi yang menyesakkan: entitas yang dikendalikan negara ingin mencapai target produksi yang besar, tetapi pada saat yang sama, justru menciptakan dan menerapkan regulasi yang secara struktural sangat mempersulit operasional dan legalisasi sumber pasokan utamanya, yaitu Tambang Rakyat.

Dualisme Pasokan: Kebutuhan vs. Aturan

Pelaku industri timah yang memahami realitas di lapangan mengetahui bahwa jutaan ton material timah alluvial berada di luar jangkauan penambangan besar, namun dapat dijangkau oleh puluhan ribu penambang skala kecil secara sporadis di wilayah-wilayah yang secara tradisional adalah sumber kehidupan masyarakat. Namun, kerangka hukum yang ada, terutama terkait dengan Izin Pertambangan Rakyat (IPR), seringkali bersifat:

  1. Terlalu Restriktif: Proses perizinan IPR yang rumit, persyaratan administratif yang berbelit, hingga lokasi IPR yang terbatas, membuat penambang rakyat kesulitan untuk beroperasi secara legal.
  2. Tidak Adaptif: Regulasi seringkali mengabaikan karakteristik penambangan timah rakyat yang umumnya menggunakan teknologi sederhana dan berorientasi pada pemanfaatan material yang tersebar. Hal ini bertolak belakang dengan semangat pengembangan artisanal mining yang bertanggung jawab.
  3. Menciptakan Kriminalisasi: Ketika jalan legal ditutup atau dipersulit, penambangan timah yang dilakukan masyarakat terdorong menjadi ilegal (PETI). Alih-alih merangkul mereka sebagai mitra pasokan potensial, negara justru mengambil posisi sebagai penegak hukum yang berhadapan langsung dengan rakyat pencari nafkah.

Akibatnya, pasokan bijih timah dari Tambang Rakyat yang seharusnya bisa masuk ke dalam rantai pasok resmi —meningkatkan produksi BUMN dan pemasukan negara— terpaksa beredar di pasar gelap (atau melalui rantai pasok yang tidak resmi), sehingga negara dan BUMN terus menerus kekurangan bahan baku meskipun cadangan di wilayah rakyat berlimpah.

Mengubah Ironi Menjadi Solusi: Jalan Menuju Pertambangan Bertanggung Jawab

Ironi ini adalah manifestasi dari kegagalan tata kelola yang memisahkan kepentingan negara (produksi besar dan penerimaan) dari kesejahteraan dan realitas ekonomi rakyat penambang. Untuk mengatasi dilema ini, diperlukan perubahan paradigma yang mendasar, sejalan dengan semangat pengembangan artisanal mining yang bertanggung jawab:

  1. Prioritas Legalisasi: Pemerintah harus mempermudah dan mempercepat pemberian IPR serta skema kemitraan yang adil dan transparan antara BUMN atau smelter swasta dengan kelompok Tambang Rakyat/Koperasi. Ini adalah langkah konkret untuk mengubah PETI menjadi Pasokan Legal.
  2. Pendekatan Humanis & Teknologis: Penegakan hukum harus tegas terhadap mafia dan aktor besar di balik tambang ilegal, namun harus humanis terhadap penambang rakyat. Kunci pentingnya adalah transfer pengetahuan tentang metode penambangan dan pengolahan sederhana, berdaya pulih tinggi, dan ramah lingkungan—seperti metode pengolahan gravitasi tanpa merkuri—agar penambang rakyat dapat beroperasi secara bertanggung jawab dan efisien.
  3. Kemitraan Inklusif: BUMN dan industri smelter harus melihat Tambang Rakyat bukan sebagai pesaing atau masalah, melainkan sebagai mitra strategis dalam menjamin keberlangsungan pasokan bahan baku. Skema pembelian yang adil, penetapan harga yang transparan, dan bantuan teknis adalah kunci kemitraan yang sukses.

Jika negara benar-benar ingin menjadi leader dalam industri timah global, maka harus ada keberpihakan yang jelas dan regulasi yang mendukung legalisasi Tambang Rakyat. Dengan mengubah penambang rakyat dari entitas ilegal menjadi bagian integral dari rantai pasok resmi, Indonesia tidak hanya akan meningkatkan produksi timah nasional tetapi juga mewujudkan cita-cita pertambangan yang berkeadilan, bertanggung jawab, dan menyejahterakan rakyat.


Oleh: Gatot Sugiharto Ketua APRI dan GCMF, yang berfokus pada isu pengembangan penambangan artisanal yang bertanggung jawab.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *